RMOL. Bekas Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin tak sependapat jika kepercayaan selam sunda wiwitan dikatakan sebagai agama. Din Syamsuddin mengatakan, kriteria agama dibatasi secara ilmiah. Kalau semua kepercayaan dianggap sebagai agama, kata Din, bisa ribuan agama di Indonesia ini nantinya. Oleh karenanya tak lazim jika kepercayaan selam sunda wiwitan dimasukan dalam kolom agama di KTP.
Masyarakat Baduy Dalam Kampung Cibeo penganut kepercayaan selam sunda wiwitan baru-baru ini menuntut agar kepercayaan mereka dimasukan dalam kolom agama di KTP. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Menurut saya itu bukan agama. Bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah.Berdasarkan wahyu atau berdasarkan semacam ilham. Kemudian membentuk kitab suci, ada pembawanya, ada sistem ritusnya. Apakah agama yang sudah ada, yang resmi, yang diakui oleh negara dan masyarakat, ataukah kepercayaan-kepercayaan masyarakat? Kalau kepercayaan-kepercayaan masyarakat, apalagi ada akar pada agama tertentu, itu tidak dapat dipahami sebagai agama.
Terus menurut Anda, apa kepercayaan mereka bisa dituliskan di kolom agama pad KTP?
Coba tanya pada mereka. Apakah mereka muslim atau bukan muslim, coba tanya dulu. Karena kriteria agama itu terbatas secara ilmiah. Kalau semua seperti itu dianggap agama, wah bisa ribuan agama (di Indonesia) nanti.
ALIRAN KEPERCAYAAN MUNCUL DI KTP, MUI: NEGARA INI KEMBALI KE ZAMAN BATU JUMAT, 10 NOV 2017 02:07 | EDITOR : DIMAS RYANDI
Pencantuman aliran kepercayaan di kolom agama Kartu Tanda Peduduk (KTP) telah menimbulkan polemik. Ketidaksukaan dan intoleransi terhadap ajaran kepercayaan di luar lima agama resmi negara pun muncul kepermukaan.
Salah satunya dilontarkan oleh anggota Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anton Tabah Digdoyo. Anton memandang aliran kepercayaan sebagai hal negatif yang tak boleh berkembang di Indonesia. Pasalnya, NKRI adalah negara beragama bukan negara penghayat aliran kepercayaan.
“Keputusan MK itu menandakan negeri ini mundur ke zaman batu, animisme-dinamisme bakal tumbuh subur lagi di Indonesia, di era sains yang semakin maju," ujar Anton dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/11).
Menurut Anton, rezim Orde Baru tak pernah menginginkan aliran kepercayaan berkembang.Bahkan, Presiden Soeharto saja, pernah mengatakan kepadanya bahwa aliran kepercayaan pada akhirnya harus hilang dan menginduk ke agama-agama yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu tujuan pembentukan MUI oleh saat Presiden Soeharto memimpin, ujar Anton, adalah untuk menghindari kesetaraan antara agama dan aliran kepercayaan.
"Jadi dengan disahkannya aliran kepercayaan setara dengan agama ini. Berarti MUI dan lembaga-lembaga agama telah kalah," tegasn mantan ajudan Pak Harto itu.
Anton pun berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusu Kalla segera menyadari potensi konflik akibat putusan MK tersebut. Menurutnya, kemajemukan bangsa Indonesia tak perlu ditambah rumit lagi dengan memberi ruang bagi aliran kepercayaan.
"Bangsa Indonesia ini sangat majemuk, namun karena dilegalkannya aliran kepercayaan, justru makin rentan konflik horizontal," pungkasnya. (dms/JPC)
Masyarakat Baduy Dalam Kampung Cibeo penganut kepercayaan selam sunda wiwitan baru-baru ini menuntut agar kepercayaan mereka dimasukan dalam kolom agama di KTP. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?
Menurut saya itu bukan agama. Bukan dalam pengertian agama yang secara ilmiah.Berdasarkan wahyu atau berdasarkan semacam ilham. Kemudian membentuk kitab suci, ada pembawanya, ada sistem ritusnya. Apakah agama yang sudah ada, yang resmi, yang diakui oleh negara dan masyarakat, ataukah kepercayaan-kepercayaan masyarakat? Kalau kepercayaan-kepercayaan masyarakat, apalagi ada akar pada agama tertentu, itu tidak dapat dipahami sebagai agama.
Terus menurut Anda, apa kepercayaan mereka bisa dituliskan di kolom agama pad KTP?
Coba tanya pada mereka. Apakah mereka muslim atau bukan muslim, coba tanya dulu. Karena kriteria agama itu terbatas secara ilmiah. Kalau semua seperti itu dianggap agama, wah bisa ribuan agama (di Indonesia) nanti.
ALIRAN KEPERCAYAAN MUNCUL DI KTP, MUI: NEGARA INI KEMBALI KE ZAMAN BATU JUMAT, 10 NOV 2017 02:07 | EDITOR : DIMAS RYANDI
Pencantuman aliran kepercayaan di kolom agama Kartu Tanda Peduduk (KTP) telah menimbulkan polemik. Ketidaksukaan dan intoleransi terhadap ajaran kepercayaan di luar lima agama resmi negara pun muncul kepermukaan.
Salah satunya dilontarkan oleh anggota Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anton Tabah Digdoyo. Anton memandang aliran kepercayaan sebagai hal negatif yang tak boleh berkembang di Indonesia. Pasalnya, NKRI adalah negara beragama bukan negara penghayat aliran kepercayaan.
“Keputusan MK itu menandakan negeri ini mundur ke zaman batu, animisme-dinamisme bakal tumbuh subur lagi di Indonesia, di era sains yang semakin maju," ujar Anton dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/11).
Menurut Anton, rezim Orde Baru tak pernah menginginkan aliran kepercayaan berkembang.Bahkan, Presiden Soeharto saja, pernah mengatakan kepadanya bahwa aliran kepercayaan pada akhirnya harus hilang dan menginduk ke agama-agama yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Salah satu tujuan pembentukan MUI oleh saat Presiden Soeharto memimpin, ujar Anton, adalah untuk menghindari kesetaraan antara agama dan aliran kepercayaan.
"Jadi dengan disahkannya aliran kepercayaan setara dengan agama ini. Berarti MUI dan lembaga-lembaga agama telah kalah," tegasn mantan ajudan Pak Harto itu.
Anton pun berharap pemerintahan Joko Widodo-Jusu Kalla segera menyadari potensi konflik akibat putusan MK tersebut. Menurutnya, kemajemukan bangsa Indonesia tak perlu ditambah rumit lagi dengan memberi ruang bagi aliran kepercayaan.
"Bangsa Indonesia ini sangat majemuk, namun karena dilegalkannya aliran kepercayaan, justru makin rentan konflik horizontal," pungkasnya. (dms/JPC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar