Dalam satu kasus yang sama pun sikap mereka bisa berubah-ubah, apalagi dalam kasus yang berbeda.
Di kala orang-orang NU sedang mengadakan aksi penggembosan (pengempesan) PPP (Partai Persatuan Pembangunan, yaitu partai tempat NU berfusi/ bergabung sejak 5 Januari 1973 terdiri dari partai-partai Islam: NU, Sarekat Islam, Muslimin Indonesia, dan Perti/ Persatuan Tarbiyah Indonesia) pada kampanye Pemilihan Umum 1987, beredarlah foto Husen Naro (anak Naro ketua umum PPP yang termasuk dalam daftar calon anggota DPR PPP) yang sedang berjoget/ dansa di diskotek. Foto dansa itu sangat “mujarab” untuk menggembosi PPP, hingga perolehan suara PPP merosot drastis terutama di Jawa Barat, tempat tersebarnya foto ajojing Husen Naro. Bisa dipastikan, merosotnya suara PPP itu karena adanya aksi penggembosan yang dilancarkan oleh kelompok NU pimpinan Gus Dur yang sedang rangkulan dengan Golkar.
Foto dansa seorang anak tokoh bisa dijadikan alat penggembosan. Tetapi dalam kasus foto yang tak kalah serunya, yaitu foto Abdurrahman Wahid ketua Umum PBNU yang memangku isteri orang bernama Ariyanti Boru Sitepu (38 tahun) dan itu terungkap dengan jelas tersebar ke mana-mana bahkan dijelaskan oleh ahli laboratorium film foto bahwa klisenya itu murni produk 1995-1997 masa peristiwa itu terjadi, namun orang-orang NU justru sangat membela Gus Dur. Bahkan beritanya bukan sekadar foto, namun berselingkuh selama 1995-1997 dengan bukti-bukti yang diberitakan secara terinci. Anehnya, sampai ada yang ungkapan pembelaannya melampaui batas. Pembelaan yang membabi buta terhadap foto Gus Dur memangku isteri orang itu di antaranya dilakukan oleh KH Cholil Bisri tokoh tua PKB-NU dari rembang: “Ýa benar kalau dia mangku. Akrab kan bisa aja.
Saya sendiri sama santri perempuan akrab sekali kok. Jadi keakraban itu bisa dengan siapa saja. Saya dengan beberapa orang, misalanya Neno Warisman (perempuan artis, pen), akrab sekali. Setiap saya ada di Jakarta, dia mesti datang menemui saya, minta ngaji sama saya. Masalah akrab itu tidak mesti untuk berbuat yang tidak senonoh.” (Panji Masyarakat, 13 September 2000, Media Dakwah Dzulqa’idah 1421H halaman 7). Sebegitu berbaliknya sikap kaum Nahdliyin, dalam kasus yang sama. Terhadap foto Husen Naro yang berjoget dengan wanita entah di mana tempatnya tidak jelas, mereka sudah sangat membenci dan kebencian itu dijadikan alat untuk menggembosi partai PPP.
Sebaliknya, Gus Dur yang fotonya beredar memangku isteri orang justru dibela-bela. Ada yang membelanya ingin sampai titik darah penghabisan. Ini bagai orang Yahudi yang ketika ditanya oleh Nabi saw apakah mereka kenal dengan Abdullah bin Salam ini, lalu orang-orang Yahudi itu mengatakan, itu orang terhormat di kalangan kami, pemimpin agama di lingkungan kami. Lalu ketika Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa Abdullah bin Salam itu sudah masuk Islam, tiba-tiba orang Yahudi mengingkari ucapan mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa itu pengkhianat di kalangan kami. Sikap “pagi kedelai sore tempe” itu ketika disandang oleh sebagian bangsa ini, maka ada dampak yang merusak, di antaranya pengembangan maksiat pun justru digalakkan. Contohnya, setelah orang NU jelas lebih condong ke Golkar dan meninggalkan PPP (satu-satunya saingan Golkar selain PDI) maka justru Golkar berani berkampanye dengan memasyarakatkan joget. Padahal, sebelumnya, NU justru memakai “joget” itu sebagai alat untuk memukul atau menggembosi PPP.
Kalau NU konsisten atau istiqomah, mestinya kampanye Golkar yang dihingar bingari dengan joget massal campur aduk lelaki perempuan dengan membawa-bawa rombongan artis itu harusnya diprotes oleh NU. Toh NU itu gudangnya ulama. Di samping itu foto Gus Dur yang memangku wanita isteri orang itu mesti disebarkan pula jeleknya, kalau memang konsisten seperti sikap mereka terhadap Husen Naro yang foto jogetnya dengan wanita disebarkan itu; agar orang tidak percaya lagi kepada Gus Dur dan jam’iyah atau partainya. Semua itu sama, di kubangan kemaksiatan yang jelas-jelas para ulama mengetahui haditsnya. Sedangkan kalau para ulama itu diam saja, bahkan membela, berarti mereka terkena oleh hadits berikut ini:
ليشربن أناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها، يعزف على رؤوسهم بالمعازف والمغنيات، يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير. (رواه ابن ماجة).
“Sungguh akan ada orang-orang dari umatku yang minum arak (minuman keras), mereka namakan dengan nama lain. Kepala mereka itu dimusiki dengan alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita/ nyanyian, maka Allah akan menenggelamkan mereka itu ke dalam bumi dan akan menjadikan mereka itu kera-kera dan babi babi.” (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah). Maksudnya, bukan diubah bentuknya, tetapi jiwanya dan rohnya. Dr Yusuf Al-Qordhowi menafsirkan, bentuknya bentuk manusia tetapi jiwanya jiwa kera dan rohnya roh babi.(Al-Halaal wal haroom fil Islaam, hal 295).
Nabi Muhammad SAW memperingatkan: “Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya. (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).
Berikut ini mari kita simak laporan resmi Kolonial Belanda mengenai sikap NU pada kongres pertamanya di Surabaya 1927, dua puluh satu bulan setelah lahirnya NU. Di bawah ini adalah suara gemuruh yang berkumandang dalam kongres ke-1 NU: “Arsip Kolonial dengan kode 261/ X/ 28. Isi arsip melaporkan Kongres NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yang menjunjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjung sepuluh jari. Sementara itu tokoh Islam yang menentang Belanda (jelas yang dimaksud tokoh Syarekat Islam –dll–, pen.[1]) menurut laporan itu, dicaci maki dan pantas dibuang ke Digul (Papua, pen). (Tempo, 26 Desember hal. 23, Jakarta 1987).
Sebelum menunjuk perubahan sikap NU dari ungkapannya tersebut, perlu kita simak data, apakah benar penjajah Belanda itu adil, sosok dengan Islam. Berikut ini data singkatnya: Dalam rangka usaha untuk memisahkan umat dari eksistensi dan kehidupannya yang Islami, para penjajah kafir melakukan tekanan-tekanan dan hambatan terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga menghembuskan pemikiran-pemikiran yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina pelajaran-pelajaran Islam. Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan membantu murid-murid yang memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendiikan mereka (penjajah). Di hadapan mereka dihadapkan pintu masa yang gilang gemilang dan akhirnya posisi kepemimpinan umat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh penjajah itu, pen).
Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap sistem pendidikan Islam dan Bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana tertutup rapat. Murid-murid yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja. Biasanya, mereka banyak menghadapi tekanan-tekanan yang sering kali mengakibatkan mereka berhenti dan macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka mereka dihadapkan pada perlakuan yang berbeda, dengan para lulusan sekolah mereka (penjajah). Sikap penjajah yang sangat merugikan pendidikan Islam itu ditambahi pula dengan membiayai besar-besaran terhadap Protestan dan Katolik, sambil mengecilkan sama sekali dana untuk Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 (saat itu NU melangsungkan Kongres pertamanya menjelang akhir tahun, pen) penjajah Belanda di Indonesia menerapkan alokasi dana bantuan untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai berikut:
Protestan memperoleh f 31.000.000
Katolik memperoleh f 10.080.000
Islam memperoleh f 80.000
Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedang umat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya anak-anak orang kafirin itu telah “makan sekolahan” sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemerintahan di mana-mana. Padahal, mereka itu ogah-ogahan untuk merdeka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir.
Jadi, yang berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan. [2] Sebegitu dhalimnya penjajah Belanda terhadap Ummat Islam, namun sebegitu tingginya sanjungan NU terhadap penjajah Belanda itu. Kasus yang memalukan itupun diulang lagi di zaman merdeka. Di saat jaya-jayanya PKI (Partai Komunis Indonesia) yang anti Islam itu, dan juga jaya-jayanya Soekarno sebagai presiden, maka NU berbalik dari menjunjung pemerintahan penjajah Belanda menjadi mengangkat-angkat Presiden Soekarno –yang sejak awal telah menolak Islam sebagai dasar negara– dengan gelar kehormatan doktor dakwah dan Waliyul Amri Dhoruri bi Syaukah.
Sedang terhadap Komunis (PKI) dijunjung sebagai jiwa yang menyatu dengan Islam dalam Nasakom (Nasional, Agama-NU, dan Komunis). Berikut ini penuturan Dr Deliar Noer tentang kasus itu: “…. bagi NU dan Perti kedudukan Soekarno seakan menjadi maksum. Presiden dilihat benar-benar sebagai “Pemimpin Besar Revolusi Kita, Bung Karno yang tak pernah mengenal capek dan payah, yang selalu dengan tabah dan tekun melaksanakan amanat rakyat dan tujuan yang hakiki daripada revolusi kita ini”. Maka, terharulah Soekarno. Pada Kongres NU tanggal 28 Desember 1962 ia berkata bahwa ia “cinta NU”, oleh sebab itu ditambahkannya “saya bisa merangkul NU, dan saya harap NU juga merangkul saya.” Dua tahun kemudian Soekarno diberi gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang dakwah oleh IAIN Jakarta.
Promotornya Saefuddin Zuhri, tokoh NU yang sebulan sebelumnya diangkat sebagai profesor di lembaga tersebut. Dengan latar belakang seperti ini, maka golongan Islam dalam MPR (S) bulan Mei 1963 menyokong sepenuhnya usul pengangkatan presiden Soekarno seumur hidup. Salah satu pertimbangan untuk menyokong usul ini ialah gelar dan kedudukannya sebagai Waliy al-amri dharuri –alasan-alasan lain yang diberikan bersifat “politis” dan “revolusioner”. Pidato dukungan ini diucapkan oleh ketua kelompok Islam, Sjaichu –tokoh NU, pen, (Duta Masyarakat, 20 dan 21 Mei 1963). Mungkin karena perasaan dekat yang intens terhadap Soekarno ini, maka KH Masjkur, yang di antara pemimpin NU dianggap lebih mampu menahan diri (atau bertahan pada pendirian), mengatakan juga akhirnya bahwa “Nasakom jiwaku”, sesuai benar dengan ajaran Islam yang menentang pengisapan, penindasan, dan perbudakan. (Pernyataan KH Masjkur, Duta Masyarakat 4 Agustus 1965).[3]
Masalah gelar waliyul Amri itu mengagetkan umat Islam. Pada tahun 1954 umat Islam Indonesia dikejutkan oleh keputusan suatu konperensi Ulama di Cipanas, Jawa Barat, 2-7 Maret 1954, yang memberikan kepada Presiden Soekarno gelar Waliy al-Amri Dharuri bi al Syaukah (bis-Syaukah). Arti harfiyahnya pelindung (atau orang yang bertugas mengurus) secara dharurat soal-soal dengan diberi kekuasaan. Persatuan Islam di Bandung dalam pernyataannya tanggal 14 Maret 1954 mengatakan bahwa keputusan itu tidak mengikat secara hukum. Organisasi ini mengingatkan bahwa konperensi hanya terbatas pada ulama tertentu yang dipilih oleh Menteri Agama K.H Masjkur dari NU.
Perlu diingat bahwa Persatuan Islam dalam soal agama banyak tidak sependapat dengan NU. Konperensi itu tidak berwenang mengambil keputusan tersebut, katanya tegas, dan ia menambahkan bahwa semua aparat negara termasuk presiden, kabinet, parlemen hanya bersifat sementara; mereka tidak pernah dipilih oleh rakyat. Menurut persatuan Islam, istilah Waliy al-Amri Dharuri hanya dapat dipergunakan pada negara yang berdasar Islam.[4] Tanggapan negatif terhadap keputusan tentang gelar itu juga dilancarkan oleh Arudji Kartawinata dari PSII . Keterangan Arudji mengundang kecaman dari Idham Chalid dari NU.[5] Sebegitu menjunjungnya terhadap Soekarno dan PKI, bahkan pernyataan KH Masjkur itu hanya sebulan menjelang pemberontakan Gerakan 30 September PKI 1965, ternyata orang-orang NU bahkan jadi sasaran utama pembantaian oleh PKI. Rumah-rumah para ulama atau kiyai pun ditandai untuk diculik dan disembelih oleh pemberontak PKI.
Sebagaimana sudah sebegitu tingginya orang-orang NU mengangkat-angkat penjajah Belanda, kemudian pada masa perang orang-orang NU juga jadi sasaran utama penembakan dengan senjata otomatis, sementara orang NU tentu saja sebagaimana masyarakat Islam pada umumnya penduduk Indonesia tak punya senjata. Jadi, apa gunanya mereka menjnjunjung-junjung penjajah Belanda, diktator Soekarno yang anti Syari’at Islam itu, dan juga mendekat-dekat dengan PKI? Toh jadi sasaran-sasaran juga? Menjelang pemilu 1982 di tubuh NU ada ketegangan sesama NU yang sangat berperang urat saraf. Seluruh aparatur NU mengutuk Naro dan mencela Idham Chalid dalamm kasus daftar calon legislatif yang dalam Hal ini Idham Chalid dianggap menurut saja kepada Naro, tanpa musyawarah dan langsung diantar oleh Naro ke rumah Amir Macmud, menteri dalam negeri.
Akhirnya tokoh-tokoh ulama terkemuka NU termasuk sesepuh turun tangan guna mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya. Mereka berkunjung ke rumahnya Idham Chalid di Jakarta, dan di hadapan Rais ‘Aam KH Ali Maksum dan para rais yang lain, KH As’ad Sjamsul Arifin, KH Machrus Ali, dan KH Masjkur, KH Idham Chalid menyerahkan mandatnya secara tertulis dari jabatannya sebagai ketua umum PBNU dengan alasan kesehatan. Persitiwa itu terjadi pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum Pemilu, 4 Mei 1982. Tapi dianggap mulai berlakunya pada tanggal 6 Mei 1982. Tetapi apa lacur, baru 8 hari mandat itu diserahkan kepada Rais ‘Aam maka masyarakat terkejut luar biasa, apalgi kalangan intern NU, bagaikan mendengar petir menyambar di siang bolong: Idham Chalid mencabut kembali penyerahan mandatnya itu pada tanggal 14 Mei 1982 dan menyatakan bahwa ia tetap sebagai ketua umum PBNU seperti biasa. Ini suatu keajaiban alam dalam dunia pergerakan di bumi kita ini, yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah organisasi.
Mengapa bisa terjadi demikian?[6] Periode selanjutnya, NU ibarat bermuka tiga, masih ada yang ke PPP, tak sedikit pula yang menyeberang ke Golkar sambil menggembosi PPP, dan tidak dilarang masuk ke PDI. Tampaknya menjadi penggembos pertai bekas rumahnya sendiri sambil jadi pendompleng partai lain dirasakan pula tidak enaknya. Dan jangka waktunya kira-kira dalam rentang 1984-1998, cukup lama. Baru di tahun 1999 NU bisa berkampanye kembali untuk “rumahnya sendiri” yaitu PKB. Tidak tahulah, apa saking kemaruknya atau karena hal lain, sampai-sampai konon di Jawa Timur, dari orang PKB ada yang kampanye di tempat pelacuran, dengan janji tidak akan menggusur lokalisasi tempat terlaknat itu, apabila partainya menang. Kenyataan seperti itu perlu diurut dari lakon-lakon sebelumnya.
Dari “sejarahnya” bisa disimak, NU sebenarnya bisa bersikap alim dalam menegakkan kebenaran, misalnya mempopulerkan bahwa joget-joget itu sebetulnya adalah maksiat. Tetapi sayangnya, di saat “menegakkan kebenaran” atau “amar ma’ruf nahi munkar” itu dilaksanakan, ternyata tujuannya justru hanya untuk mengempesi rekannya sendiri. Sedang ketika di dalam partai Golkar, mereka tidak mau atau tak berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jogetisasi dijadikan paket nasional di mana-mana pun kaum NU diam saja. Selanjutnya, ketika NU punya rumah sendiri yaitu PKB, justru mereka lebih tidak beramar ma’ruf nahi munkar lagi, namun malahan ada yang berani menghalalkan yang haram, dan berjanji untuk melestarikan keharaman yaitu lokalisasi pelacuran.
Dan setelah “perjuangannya” sukses, hingga Ketua PBNU Abdurrahman Wahid bisa jadi presiden, amar ma’ruf nahi munkar pun malah diputar balikkan hanya untuk mempertahankan kursi jabatan Gus Dur. Hingga kasus Gus Dur memangku isteri orang (fotonya otentik), mereka bela. Gus Dur tersangkut kasus korupsi dana Yayasan karyawan Bulog, mereka bela. Kasus kebohongan Gus Dur tentang penjelasannya mengenai duit sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hasanal Bolkiah 2 juta dolar Amerika, mereka bela. Jadi, kalau orang yang mereka musuhi ada sedikit kesalahan, mereka jatuhkan sejadi-jadinya. Bahkan masjid, madrasah, sekolahan, perkantoran milik Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan HMI yang tidak bersalah apa-apa, mereka rusak. Namun kalau kesalahan itu ada pada mereka, walau itu jelas salah, dan bahkan salahnya sangat besar, tetap mereka bela. Tingkah dan sikap mereka itu sebenarnya memang mirip Yahudi, ya memang tokoh mereka Abdurrahman Wahid itu adalah pendukung utama Yahudi, maka mau diapakan lagi. Tetapi sekali lagi, ini bukan setiap orang NU.
Masih ada di antara mereka yang baik-baik, tentu saja. Tetapi masalahnya, mereka kenapa diam? Atau mungkin memang mereka yang baik-baik itu kalah suara, boleh jadi. Ya sudahlah, sampai di sini saja uraian tentang “pagi kedelai sore tempe”. Ini semua hanya sekadar contoh soal. Yang lain-lain tentunya masih ada sampai sekarang. Bahkan menjadi keputusan DPR hasil Pansus Buloggate dan Bruneigate 1 Februari 2001 bahwa tokoh NU, Presiden Abdurrahman Wahid, diputuskan bahwa dia melakukan kebohongan publik dalam kasus sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hasanal Bolkiah. Setelah dibuka-buka lembaran sejarah, ternyata kasus semacam itu sudah sejak zaman Belanda mereka lakukan. Boedi Santoso
Foto dansa seorang anak tokoh bisa dijadikan alat penggembosan. Tetapi dalam kasus foto yang tak kalah serunya, yaitu foto Abdurrahman Wahid ketua Umum PBNU yang memangku isteri orang bernama Ariyanti Boru Sitepu (38 tahun) dan itu terungkap dengan jelas tersebar ke mana-mana bahkan dijelaskan oleh ahli laboratorium film foto bahwa klisenya itu murni produk 1995-1997 masa peristiwa itu terjadi, namun orang-orang NU justru sangat membela Gus Dur. Bahkan beritanya bukan sekadar foto, namun berselingkuh selama 1995-1997 dengan bukti-bukti yang diberitakan secara terinci. Anehnya, sampai ada yang ungkapan pembelaannya melampaui batas. Pembelaan yang membabi buta terhadap foto Gus Dur memangku isteri orang itu di antaranya dilakukan oleh KH Cholil Bisri tokoh tua PKB-NU dari rembang: “Ýa benar kalau dia mangku. Akrab kan bisa aja.
Saya sendiri sama santri perempuan akrab sekali kok. Jadi keakraban itu bisa dengan siapa saja. Saya dengan beberapa orang, misalanya Neno Warisman (perempuan artis, pen), akrab sekali. Setiap saya ada di Jakarta, dia mesti datang menemui saya, minta ngaji sama saya. Masalah akrab itu tidak mesti untuk berbuat yang tidak senonoh.” (Panji Masyarakat, 13 September 2000, Media Dakwah Dzulqa’idah 1421H halaman 7). Sebegitu berbaliknya sikap kaum Nahdliyin, dalam kasus yang sama. Terhadap foto Husen Naro yang berjoget dengan wanita entah di mana tempatnya tidak jelas, mereka sudah sangat membenci dan kebencian itu dijadikan alat untuk menggembosi partai PPP.
Sebaliknya, Gus Dur yang fotonya beredar memangku isteri orang justru dibela-bela. Ada yang membelanya ingin sampai titik darah penghabisan. Ini bagai orang Yahudi yang ketika ditanya oleh Nabi saw apakah mereka kenal dengan Abdullah bin Salam ini, lalu orang-orang Yahudi itu mengatakan, itu orang terhormat di kalangan kami, pemimpin agama di lingkungan kami. Lalu ketika Nabi Muhammad saw menjelaskan bahwa Abdullah bin Salam itu sudah masuk Islam, tiba-tiba orang Yahudi mengingkari ucapan mereka sendiri, mereka mengatakan bahwa itu pengkhianat di kalangan kami. Sikap “pagi kedelai sore tempe” itu ketika disandang oleh sebagian bangsa ini, maka ada dampak yang merusak, di antaranya pengembangan maksiat pun justru digalakkan. Contohnya, setelah orang NU jelas lebih condong ke Golkar dan meninggalkan PPP (satu-satunya saingan Golkar selain PDI) maka justru Golkar berani berkampanye dengan memasyarakatkan joget. Padahal, sebelumnya, NU justru memakai “joget” itu sebagai alat untuk memukul atau menggembosi PPP.
Kalau NU konsisten atau istiqomah, mestinya kampanye Golkar yang dihingar bingari dengan joget massal campur aduk lelaki perempuan dengan membawa-bawa rombongan artis itu harusnya diprotes oleh NU. Toh NU itu gudangnya ulama. Di samping itu foto Gus Dur yang memangku wanita isteri orang itu mesti disebarkan pula jeleknya, kalau memang konsisten seperti sikap mereka terhadap Husen Naro yang foto jogetnya dengan wanita disebarkan itu; agar orang tidak percaya lagi kepada Gus Dur dan jam’iyah atau partainya. Semua itu sama, di kubangan kemaksiatan yang jelas-jelas para ulama mengetahui haditsnya. Sedangkan kalau para ulama itu diam saja, bahkan membela, berarti mereka terkena oleh hadits berikut ini:
ليشربن أناس من أمتي الخمر يسمونها بغير اسمها، يعزف على رؤوسهم بالمعازف والمغنيات، يخسف الله بهم الأرض ويجعل منهم القردة والخنازير. (رواه ابن ماجة).
“Sungguh akan ada orang-orang dari umatku yang minum arak (minuman keras), mereka namakan dengan nama lain. Kepala mereka itu dimusiki dengan alat-alat musik dan penyanyi-penyanyi wanita/ nyanyian, maka Allah akan menenggelamkan mereka itu ke dalam bumi dan akan menjadikan mereka itu kera-kera dan babi babi.” (Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah). Maksudnya, bukan diubah bentuknya, tetapi jiwanya dan rohnya. Dr Yusuf Al-Qordhowi menafsirkan, bentuknya bentuk manusia tetapi jiwanya jiwa kera dan rohnya roh babi.(Al-Halaal wal haroom fil Islaam, hal 295).
Nabi Muhammad SAW memperingatkan: “Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya. (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243, sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).
Berikut ini mari kita simak laporan resmi Kolonial Belanda mengenai sikap NU pada kongres pertamanya di Surabaya 1927, dua puluh satu bulan setelah lahirnya NU. Di bawah ini adalah suara gemuruh yang berkumandang dalam kongres ke-1 NU: “Arsip Kolonial dengan kode 261/ X/ 28. Isi arsip melaporkan Kongres NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yang menjunjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjung sepuluh jari. Sementara itu tokoh Islam yang menentang Belanda (jelas yang dimaksud tokoh Syarekat Islam –dll–, pen.[1]) menurut laporan itu, dicaci maki dan pantas dibuang ke Digul (Papua, pen). (Tempo, 26 Desember hal. 23, Jakarta 1987).
Sebelum menunjuk perubahan sikap NU dari ungkapannya tersebut, perlu kita simak data, apakah benar penjajah Belanda itu adil, sosok dengan Islam. Berikut ini data singkatnya: Dalam rangka usaha untuk memisahkan umat dari eksistensi dan kehidupannya yang Islami, para penjajah kafir melakukan tekanan-tekanan dan hambatan terhadap sistem pengajaran Islam. Mereka juga menghembuskan pemikiran-pemikiran yang dapat merendahkan kedudukan dan menghina pelajaran-pelajaran Islam. Sebagai kebalikannya, mereka memperhatikan dan membantu murid-murid yang memasuki sekolah-sekolah baru tempat pendiikan mereka (penjajah). Di hadapan mereka dihadapkan pintu masa yang gilang gemilang dan akhirnya posisi kepemimpinan umat menjadi tergantung kepada mereka (yang diasuh penjajah itu, pen).
Begitulah tekanan-tekanan yang dilancarkan terhadap sistem pendidikan Islam dan Bahasa Arab. Semua jalan yang menuju ke sana tertutup rapat. Murid-murid yang tetap tekun hanyalah sebagian kecil saja. Biasanya, mereka banyak menghadapi tekanan-tekanan yang sering kali mengakibatkan mereka berhenti dan macet di tengah jalan. Kalau tidak, maka mereka dihadapkan pada perlakuan yang berbeda, dengan para lulusan sekolah mereka (penjajah). Sikap penjajah yang sangat merugikan pendidikan Islam itu ditambahi pula dengan membiayai besar-besaran terhadap Protestan dan Katolik, sambil mengecilkan sama sekali dana untuk Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927 (saat itu NU melangsungkan Kongres pertamanya menjelang akhir tahun, pen) penjajah Belanda di Indonesia menerapkan alokasi dana bantuan untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah sebagai berikut:
Protestan memperoleh f 31.000.000
Katolik memperoleh f 10.080.000
Islam memperoleh f 80.000
Dana besar dari penjajah Belanda itu digunakan oleh orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedang umat Islam tidak punya uang. Pada gilirannya anak-anak orang kafirin itu telah “makan sekolahan” sedang anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika merdeka, orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemerintahan di mana-mana. Padahal, mereka itu ogah-ogahan untuk merdeka, lebih enak menyusu pada penjajah sesama kafir.
Jadi, yang berjuang mengorbankan nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan. [2] Sebegitu dhalimnya penjajah Belanda terhadap Ummat Islam, namun sebegitu tingginya sanjungan NU terhadap penjajah Belanda itu. Kasus yang memalukan itupun diulang lagi di zaman merdeka. Di saat jaya-jayanya PKI (Partai Komunis Indonesia) yang anti Islam itu, dan juga jaya-jayanya Soekarno sebagai presiden, maka NU berbalik dari menjunjung pemerintahan penjajah Belanda menjadi mengangkat-angkat Presiden Soekarno –yang sejak awal telah menolak Islam sebagai dasar negara– dengan gelar kehormatan doktor dakwah dan Waliyul Amri Dhoruri bi Syaukah.
Sedang terhadap Komunis (PKI) dijunjung sebagai jiwa yang menyatu dengan Islam dalam Nasakom (Nasional, Agama-NU, dan Komunis). Berikut ini penuturan Dr Deliar Noer tentang kasus itu: “…. bagi NU dan Perti kedudukan Soekarno seakan menjadi maksum. Presiden dilihat benar-benar sebagai “Pemimpin Besar Revolusi Kita, Bung Karno yang tak pernah mengenal capek dan payah, yang selalu dengan tabah dan tekun melaksanakan amanat rakyat dan tujuan yang hakiki daripada revolusi kita ini”. Maka, terharulah Soekarno. Pada Kongres NU tanggal 28 Desember 1962 ia berkata bahwa ia “cinta NU”, oleh sebab itu ditambahkannya “saya bisa merangkul NU, dan saya harap NU juga merangkul saya.” Dua tahun kemudian Soekarno diberi gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang dakwah oleh IAIN Jakarta.
Promotornya Saefuddin Zuhri, tokoh NU yang sebulan sebelumnya diangkat sebagai profesor di lembaga tersebut. Dengan latar belakang seperti ini, maka golongan Islam dalam MPR (S) bulan Mei 1963 menyokong sepenuhnya usul pengangkatan presiden Soekarno seumur hidup. Salah satu pertimbangan untuk menyokong usul ini ialah gelar dan kedudukannya sebagai Waliy al-amri dharuri –alasan-alasan lain yang diberikan bersifat “politis” dan “revolusioner”. Pidato dukungan ini diucapkan oleh ketua kelompok Islam, Sjaichu –tokoh NU, pen, (Duta Masyarakat, 20 dan 21 Mei 1963). Mungkin karena perasaan dekat yang intens terhadap Soekarno ini, maka KH Masjkur, yang di antara pemimpin NU dianggap lebih mampu menahan diri (atau bertahan pada pendirian), mengatakan juga akhirnya bahwa “Nasakom jiwaku”, sesuai benar dengan ajaran Islam yang menentang pengisapan, penindasan, dan perbudakan. (Pernyataan KH Masjkur, Duta Masyarakat 4 Agustus 1965).[3]
Masalah gelar waliyul Amri itu mengagetkan umat Islam. Pada tahun 1954 umat Islam Indonesia dikejutkan oleh keputusan suatu konperensi Ulama di Cipanas, Jawa Barat, 2-7 Maret 1954, yang memberikan kepada Presiden Soekarno gelar Waliy al-Amri Dharuri bi al Syaukah (bis-Syaukah). Arti harfiyahnya pelindung (atau orang yang bertugas mengurus) secara dharurat soal-soal dengan diberi kekuasaan. Persatuan Islam di Bandung dalam pernyataannya tanggal 14 Maret 1954 mengatakan bahwa keputusan itu tidak mengikat secara hukum. Organisasi ini mengingatkan bahwa konperensi hanya terbatas pada ulama tertentu yang dipilih oleh Menteri Agama K.H Masjkur dari NU.
Perlu diingat bahwa Persatuan Islam dalam soal agama banyak tidak sependapat dengan NU. Konperensi itu tidak berwenang mengambil keputusan tersebut, katanya tegas, dan ia menambahkan bahwa semua aparat negara termasuk presiden, kabinet, parlemen hanya bersifat sementara; mereka tidak pernah dipilih oleh rakyat. Menurut persatuan Islam, istilah Waliy al-Amri Dharuri hanya dapat dipergunakan pada negara yang berdasar Islam.[4] Tanggapan negatif terhadap keputusan tentang gelar itu juga dilancarkan oleh Arudji Kartawinata dari PSII . Keterangan Arudji mengundang kecaman dari Idham Chalid dari NU.[5] Sebegitu menjunjungnya terhadap Soekarno dan PKI, bahkan pernyataan KH Masjkur itu hanya sebulan menjelang pemberontakan Gerakan 30 September PKI 1965, ternyata orang-orang NU bahkan jadi sasaran utama pembantaian oleh PKI. Rumah-rumah para ulama atau kiyai pun ditandai untuk diculik dan disembelih oleh pemberontak PKI.
Sebagaimana sudah sebegitu tingginya orang-orang NU mengangkat-angkat penjajah Belanda, kemudian pada masa perang orang-orang NU juga jadi sasaran utama penembakan dengan senjata otomatis, sementara orang NU tentu saja sebagaimana masyarakat Islam pada umumnya penduduk Indonesia tak punya senjata. Jadi, apa gunanya mereka menjnjunjung-junjung penjajah Belanda, diktator Soekarno yang anti Syari’at Islam itu, dan juga mendekat-dekat dengan PKI? Toh jadi sasaran-sasaran juga? Menjelang pemilu 1982 di tubuh NU ada ketegangan sesama NU yang sangat berperang urat saraf. Seluruh aparatur NU mengutuk Naro dan mencela Idham Chalid dalamm kasus daftar calon legislatif yang dalam Hal ini Idham Chalid dianggap menurut saja kepada Naro, tanpa musyawarah dan langsung diantar oleh Naro ke rumah Amir Macmud, menteri dalam negeri.
Akhirnya tokoh-tokoh ulama terkemuka NU termasuk sesepuh turun tangan guna mencari penyelesaian yang sebaik-baiknya. Mereka berkunjung ke rumahnya Idham Chalid di Jakarta, dan di hadapan Rais ‘Aam KH Ali Maksum dan para rais yang lain, KH As’ad Sjamsul Arifin, KH Machrus Ali, dan KH Masjkur, KH Idham Chalid menyerahkan mandatnya secara tertulis dari jabatannya sebagai ketua umum PBNU dengan alasan kesehatan. Persitiwa itu terjadi pada tanggal 2 Mei 1982, dua hari sebelum Pemilu, 4 Mei 1982. Tapi dianggap mulai berlakunya pada tanggal 6 Mei 1982. Tetapi apa lacur, baru 8 hari mandat itu diserahkan kepada Rais ‘Aam maka masyarakat terkejut luar biasa, apalgi kalangan intern NU, bagaikan mendengar petir menyambar di siang bolong: Idham Chalid mencabut kembali penyerahan mandatnya itu pada tanggal 14 Mei 1982 dan menyatakan bahwa ia tetap sebagai ketua umum PBNU seperti biasa. Ini suatu keajaiban alam dalam dunia pergerakan di bumi kita ini, yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam sejarah organisasi.
Mengapa bisa terjadi demikian?[6] Periode selanjutnya, NU ibarat bermuka tiga, masih ada yang ke PPP, tak sedikit pula yang menyeberang ke Golkar sambil menggembosi PPP, dan tidak dilarang masuk ke PDI. Tampaknya menjadi penggembos pertai bekas rumahnya sendiri sambil jadi pendompleng partai lain dirasakan pula tidak enaknya. Dan jangka waktunya kira-kira dalam rentang 1984-1998, cukup lama. Baru di tahun 1999 NU bisa berkampanye kembali untuk “rumahnya sendiri” yaitu PKB. Tidak tahulah, apa saking kemaruknya atau karena hal lain, sampai-sampai konon di Jawa Timur, dari orang PKB ada yang kampanye di tempat pelacuran, dengan janji tidak akan menggusur lokalisasi tempat terlaknat itu, apabila partainya menang. Kenyataan seperti itu perlu diurut dari lakon-lakon sebelumnya.
Dari “sejarahnya” bisa disimak, NU sebenarnya bisa bersikap alim dalam menegakkan kebenaran, misalnya mempopulerkan bahwa joget-joget itu sebetulnya adalah maksiat. Tetapi sayangnya, di saat “menegakkan kebenaran” atau “amar ma’ruf nahi munkar” itu dilaksanakan, ternyata tujuannya justru hanya untuk mengempesi rekannya sendiri. Sedang ketika di dalam partai Golkar, mereka tidak mau atau tak berani menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bahkan jogetisasi dijadikan paket nasional di mana-mana pun kaum NU diam saja. Selanjutnya, ketika NU punya rumah sendiri yaitu PKB, justru mereka lebih tidak beramar ma’ruf nahi munkar lagi, namun malahan ada yang berani menghalalkan yang haram, dan berjanji untuk melestarikan keharaman yaitu lokalisasi pelacuran.
Dan setelah “perjuangannya” sukses, hingga Ketua PBNU Abdurrahman Wahid bisa jadi presiden, amar ma’ruf nahi munkar pun malah diputar balikkan hanya untuk mempertahankan kursi jabatan Gus Dur. Hingga kasus Gus Dur memangku isteri orang (fotonya otentik), mereka bela. Gus Dur tersangkut kasus korupsi dana Yayasan karyawan Bulog, mereka bela. Kasus kebohongan Gus Dur tentang penjelasannya mengenai duit sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hasanal Bolkiah 2 juta dolar Amerika, mereka bela. Jadi, kalau orang yang mereka musuhi ada sedikit kesalahan, mereka jatuhkan sejadi-jadinya. Bahkan masjid, madrasah, sekolahan, perkantoran milik Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan HMI yang tidak bersalah apa-apa, mereka rusak. Namun kalau kesalahan itu ada pada mereka, walau itu jelas salah, dan bahkan salahnya sangat besar, tetap mereka bela. Tingkah dan sikap mereka itu sebenarnya memang mirip Yahudi, ya memang tokoh mereka Abdurrahman Wahid itu adalah pendukung utama Yahudi, maka mau diapakan lagi. Tetapi sekali lagi, ini bukan setiap orang NU.
Masih ada di antara mereka yang baik-baik, tentu saja. Tetapi masalahnya, mereka kenapa diam? Atau mungkin memang mereka yang baik-baik itu kalah suara, boleh jadi. Ya sudahlah, sampai di sini saja uraian tentang “pagi kedelai sore tempe”. Ini semua hanya sekadar contoh soal. Yang lain-lain tentunya masih ada sampai sekarang. Bahkan menjadi keputusan DPR hasil Pansus Buloggate dan Bruneigate 1 Februari 2001 bahwa tokoh NU, Presiden Abdurrahman Wahid, diputuskan bahwa dia melakukan kebohongan publik dalam kasus sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hasanal Bolkiah. Setelah dibuka-buka lembaran sejarah, ternyata kasus semacam itu sudah sejak zaman Belanda mereka lakukan. Boedi Santoso
Tidak ada komentar:
Posting Komentar